A. Pendahuluan
Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Bentuk-bentuk pendidikan Islam di pedesaan paling tidak dapat disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu perguruan formal, serikat tolong-menolong seperti kelompok yasinan, majelis latihan seperti pesantren kilat dan kuliah tujuh menit (Kuntowijoyo,1988:105).
Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Bentuk-bentuk pendidikan Islam di pedesaan paling tidak dapat disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu perguruan formal, serikat tolong-menolong seperti kelompok yasinan, majelis latihan seperti pesantren kilat dan kuliah tujuh menit (Kuntowijoyo,1988:105).
Gejala tren pesantren
dewasa ini juga muncul dilingkungan perkotaan, seperti fenomena
kemunculan beberapa pesantren mahasiswa/pelajar, seperti di malang
misalnya Al-Hikam, Ulil Absor, Firdaus, Dar al-Hijrah, dan beberapayang
lain. Kecenderungan
ini menunjukkan, bahwa meskipun sistem pendidikan pesantren memiliki
beberapa kelemahan, namun ternyatamasih dianggapsebagai tempat paling
efektif untuk memperkenalkan Islam.
B. Sejarah Pertumbuhan Pesantren
a. Pengertian Seputar Pesantren
Menurut
pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua
istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau
“pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah
pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang
disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau
barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awala pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[1]
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri atau tempat murid / santri mengaji.
Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendaptnya pada ahli antara lain:
M.
Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada
awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di
masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi
memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada
fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan
yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak
terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah
sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi.[2]
Sedangkan
dalam tulisan Karel A. Steenbrink, model pendiskripsinya masih bermuara
pada seputar hubungan pesantren dengan warisan Hindu-Budha, atau juga
hubungan pesantren dengan tradisi kebangkitan Islam abad pertengahan di
Timur-Tengah.[3]
b Sistem Nilai dalam Pesantren
Dalam
pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah
pranata yang muncul dari agama dan tradisi Islam. Secara khusus
Nurcholis Madjid menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang
dikembangkan oleh pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah.[1]
Dimana, jika dibahas lebih jauh akar-akar kultural ini akan membentuk
beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-watak
ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks
intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya
dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah, walaupun
biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam
pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan
al-Ash’ary dan juga al-Ghazali.[2]
Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab
yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut
(madzhab Sunni).
Secara
lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan
pemikiran yang terideologisasi tersebut, mempengaruhi pula pola
sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia
pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kyai, dimana Kyai
disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur
yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap
pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam
pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan,
karena dari masing-masing memiliki efektifitas untuk melakukan
mobilisasi kultural dan komponen-komponen pendidikannya.[3]c Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda
dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan
tujuan pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran
dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada umumnya
tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal
ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan
motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas
dasar untuk ibadah dan tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu
dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam
hirarki sosial maupun ekonomi.
a. Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pada
sebagian pesantren terutama pada pesantren-pesantren lama, istilah
kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun materinya ada di dalam
praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam
kehidupan sehari-hari di pesantren. Bahkan dalam kajian atau hasil
penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik jarang diketemukan,
seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A. Steenbrink. Tentang
pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren, lebih banyak
mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan interaksi
santri dan kyai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk
Al-qur’an dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.[1]
C. Tipologi Pesantren: Macam-Macam Jenis Pesantren
Secara garis besar, lembaga pesantren di Jawa Timur dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu:[1]
a. Pesantren
Salafi : yaitu pesantren yang tetap mempertahankan sistem (materi
pengajaran) yang sumbrnya kitab–kitab klasik Islam atau kitab dengan
huruf Arab gundul (tanpa baris apapun). Sistem sorogan (individual)
menjadi sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak
diajarkan.
b. Pesantren
Khalafi : yaitu sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu
pengajaran secara klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan bahasa
non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini menambahnya berbagai
ketermpilan.
D. Pola Lama Dunia Pesantren
Sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran
ulama ahli fiqh, hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7
sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam
beberapa hal muslaim tradisional mengalami stagnasi.[1]
E. Corak Pembaharuan Pesantren
Menghadapi
perubahan zaman yang begitu cepat, dunia pesantren mengalami pergeseran
kearah perkermbangan yang lebih positif, baik secara struktural maupun
kultural, yang menyangkut pola kepemimpinan, pola hubungan pimpinan dan
santri, pola komunikasi, cara pengambilan keputusasan dan sebagainya,
yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dengan
landasan nilai-nilai Islam. Dinamika perkembangan pesantren semacam
inilah yang menampilkan sosok pesantren yang dinamis, kreatif, produktif
dan efektif serta inovatif dalam setiap langkah yang ditawarkan dan
dikembangkannya. Sehingga pesantren merupakan lembaga yang adaptif dan
antisipatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dan teknologi tanpa
meninggalkan nilai-nilai relegius.
F Prospek Pesantren di Masa Depan : Peluang dan Tantangan
Dalam Khozin (Jejak-Jejak Pendidikan Islam Di Indonesia :2006) lembaga pendidikan terutama uyang berbasis diperdesaan telah mengalami sejaranh yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. Dengan berjalannya
waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang
sejalan dengan proses dan dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkanupaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Lembaga
pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia tampak dalam beberapa
hal. Pertama peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren.
Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977 ada 4.19 pesantren
dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661
pesantren dengan 938397 santri pada tahun 1981 [1], kemudian meningkat lagi menjadi 15900 pesantren dengan jumlah santri 5,9 juta pada tahun 1985[2].
Kedua, kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah
masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Pesantren mampu memobilisasi
sunber dana maupun tenaga, serta mampu berperan sebagai benteng
terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif (Billah, 1988:12).
Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Pesantren
jugamerupakan lembaga yang tepat dalam mendinamisir dirinnya di
tengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini
menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan
masyarakat.
[3]Selain
peluang di atas tersebut saat ini pesantren dihadapkan pada tantangan
seperti kemampuan pesantren dalam memperebutkan peserta didik, seperti
menurut Dhoifer (1992), bahwa dominasi pesantren dalam dunia pendidikan
mulai menurun secara drastis setelah tahun 1950-an salah satu faktornya
adalah lapangan pekerjaan modern mulai terbuka yang mendapat
latihan-latihan di sekolah umum. Hal ini mengakibatkan menurunnya minat
kaum muda terhadap pendidikan pesantren dibanding dengan sekolah-sekolah
umum, sementara perhatian pemerintahan sejak proklamasi terhadap sistem
pendidikan nasional.
Namum,
demikian, penulis berkesimpulan lembaga pendidikan pesantren prospeknya
masih sangat menjanjikan, dan tetap akan berkembang sepanjang waktu
dengan dinamika dan prosesnya yang berbeda.
[1] Ibid. hal 102.
[2] Kertakusuma dalam khozin, jejak-jejak pendidikan Islam Di Indonesia (Malang ;2006) hal 107.
[3] Ibid hal,108.
[1] Muhammad Ya’cub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Desa, (Bandung: 1984), hal. 23
[1] Op.Cit, 10-20
[1] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: 1997), 31
[2] ibid. hal. 32
[3] M. Dawam Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: 1985), hal. 78
[1] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta, 2002), hal. 62
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, cet. 2. 1994, hlm. 18
[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: 1989), hal. 23.
0 komentar:
Posting Komentar